TIDORE
Tidore adalah salah satu pulau yang
berada di gugusan utara Kepulauan Maluku. Pulau Tidore bersebelahan
dengan pulau Ternate dan Halmahera. Tidore dahulu merupakan negara
monarki islam (Kesultanan) yang pada akhirnya berintegrasi ke dalam
wilayah NKRI pada tahun 1946. Pada tanggal 31 Mei 2003 Tidore resmi
menjadi Kotamadya dari Provinsi Maluku Utara hasil Otonomi daerah
(Pemekaran dari Kab.Halmahera Tengah tahun 2013). Pembentukan ini
didasari dengan dikeluarkannya UU RI No.1 Tahun 2003 tentang pembentukan
Kotamadya Tidore Kepulauan. Pulau Tidore berluas wilayah 9.564,7 km²
dengan jumlah penduduk sebanyak 98.025 jiwa (Statistik tahun 2010).
Tidore dalam skala peta Atlas Geografi (Maluku Utara)
PERINGATAN HARI LAHIR TIDORE
Meskipun 31 Mei Tahun 2003 dikenal
sebagai hari jadi Pemerintah Kotamadaya Tidore Kepulauan lewat
pembentukan daerah kota dari UU RI No.1 Tahun 2003 dan meskipun
kepemimpinan di negeri Tidore sangat sukar diketahui di era kuno
(Kepemimpinan Momole), namun pemerintah dan masyarakat adat sepakat
bahwa titik tolak Sejarah Tidore ditarik sejak Tidore resmi menjadi
Kerajaan Islam. Dengan literasi kuno yang tersimpan, maka sepakatlah
kedua belah pihak bahwa Kerajaan Tidore (Secara Historis) berdiri pada
tanggal 12 April Tahun 1109. Tanggal ini disesuaikan dengan kedatangan Maulana Tasriful Djafar Ashiddiq atas tugas Syiarnya serta resmi mengangkat puteranya dari pernikahannya Jou Boki Nurshafa yakni Muhammad Naqil Alias Shahjati sebagai Kolano (Penguasa) atas Tidore. Praktis kepemimpinan Islam di Tidore lahir.
RAS TIDORE
Ras asli orang Tidore adalah
Melanesia (Ras berkulit coklat) yang masih berkerabat dengan
Fiji,
Tonga dan
beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan Samudra Pasifik.
Namun ras asli tersebut kian menjadi masyarakat minoritas karena
dominasi kaum pendatang
(Arab ; ras kaukasoid, cina ; ras mongoloid) yang telah berbaur hingga membentuk ras campuran.
SUKU TIDORE
Tidore memiliki suku yang berdiri sendiri yakni S
uku Tidore (Karna
memiliki jenis induk linguistik yang sama), Suku Tidore berasal dari
pulau Tidore. Suku tidore dahulu mendiami wilayah Pulau Tidore, Pesisir
pantai Halmahera bagian barat, Pulau Mare, Pesisir Moti, dan Maitara.
Suku Tidore lebih dominan hidup sebagai Nelayan dan minoritasnya adalah
petani. Kaum nelayan hidup di pesisir, sedang petani hidup di pedalaman
dan di puncak perbukitan. Masyarakat hidup dari mata pencaharian yang
disesuaikan dengan tempat hidupnya. Sistim kepemipinan pribumi Tidore
masih menggunakan kepemimpinan kelompok (klasik) yang dipimpin oleh
orang yang terkuat dari komunitasnya. Orang ini diberikan kehormatan
dengan julukan “Momole”.
NENEK MOYANG SUKU TIDORE
Nenek moyang suku Tidore sama halnya
dengan dengan nenek moyang dari wilayah lainnya seperti dari pulau
Halmahera dan pulau-pulau lainnya. Kebiasaan nenek moyang selalu identik
dengan perang adat (perebutan kekuasaan) dan bertahan hidup. Konon
menurut cerita turun temurun Nenek moyang orang Tidore hanya berani
bermukim di pesisir pulau baik di Tidore hingga mencakupi Halmahera
(Berhadapan dengan Tidore) sebab konon pula wilayah dalam atau dikenal
dengan “Gam Tina” (pedalaman hutan/pegunungan) masih didominasi Kaum
pribumi dari bangsa Jin. Di Maluku Utara lebih dikenal dengan nama “Mansia kornono”
atau Orang gelap. Tak ada kronologi yang menjelaskan pengaturan tata
kehidupan di Tidore namun dalam catatan sejarah (1626-1631) menjelaskan
bahwa saat ituTidore memiliki dua masyarakat pribumi yakni Pribumi
Manusia atau Masyarakat terang dengan sebutan “Bala Sita-sita” yang
dipimpin oleh keturunan dari Jou Kolano (Raja Tidore) Syahjati alias
Nakil putera dari imam Maulana Djaffar Asshidik dan Jou Boki Nursafa
yakni Jou Kolano Ngora Malamo alias Sultan Alauddin Syah dan Pribumi Jin atau masyarakat gelap dengan sebutan “Bala Kornono” yang dipimpin oleh Jou Kolano Jin Tomabanga. (kutipan Referensi Buku : Mengenal kesultanan Tidore hal : 5 MASWIN A. RAHMAN )
Kehidupan kuno nenek moyang Suku Tidore dan Halmahera pesisir
BUDAYA TIDORE
Tradisi kuno Suku Tidore masih melekat
hingga kini yakni sarat akan kehidupan animisme (Menyembah Roh nenek
moyang) dan bersahabat dengan kaum Jin. Meski pada persoalan Animisme
dalam agama Islam bertolak belakang, namun para Ulama penyebar Islam di
tanah Maluku Utara berhasil (Syekh Yaqub hingga Imam Djafar serta ulama
lainnya) mampu dan berhasil memberikan pengetahuan dasar hakekat (Guna
memberikan pemahaman akan kosmo kekuasaan dan khalayak kepemimpinan alam
yang sebenarnya) lewat pengenalan identitas ketuhanan (Illahi) tanpa
menggeser fondasi keimanan utama masyarakat akan kepercayaan peran (Roh)
nenek moyang dalam kehidupan dan adatnya yang diimani jauh sejak Islam
ada. Para ulama paham dengan kondisi ini olehnya itu konsekuensinya
adalah Islam harus dikenalkan dengan tingkat yang jauh lebih tinggi
dengan metode yang tinggi pula tak seperti di jawa (Wali Songo) dengan
pendekatan Syariat-Kulturalnya. Usaha islamisasi agak berbeda dan sulit
karena masyarakat (Maluku Utara kuno) saat itu telah maju secara
pemikiran (Bijaksana) dan memiliki bakat alami yang mumpuni (Sakti).
Itulah mengapa Tidore sarat dan kental akan penganut Islam Tarikat,
Pengetahuan Islam yang tingkatannya jauh dan lebih tinggi karena
orientasi pengislaman saat itu memang demikian. Landasan dan falsafah
sosial yang kini melekat di Tidore daripada usaha para ulama Ulama
dengan toleransi ide dan kebijaksanaan para kaum pribumi dalam menerima
membantu proses Islamisasi masyarakat kini melahirkan satu kekuatan
fondasi sosial yakni “Adat ge mauri Syara, Syara mauri Kitabullah”.”
Yang artinya adat bersendi pada syariat (Islam) dan Syariat (Islam)
yang bersendi pada kitab Allah SWT (Al-Qur’an). Olehnya itu setiap tata
budaya yang dilaksanakan oleh adat Tidore tak pernah keluar dari garis
islam dan ketata-sosialannya sebagaimana peradaban islam lainnya yakni :
Tata krama (Kesopanan dan kesusilaan), Etika (Perilaku) dan norma-norma
islam.
KEBUDAYAAN TIDORE
Tidore memiliki kekayaan budaya yang
diproses dari suatu kearifan peradaban yang berflasafahan dan
beresetetika. Warisan budaya ini kemudian berkombinasi dengan ajaran
Islam agar berkeseuaian dengan masyarakat Adapun Klasifikasi umum dari
Kumpulan Budaya adat Tidore yang telah terbentuk dan terlestari hingga
kini yakni :
1. Adat Perkawinan 2. Adat Bahasa dan Sastra 3. Adat Sistem
organisasi dan golongan sosial masyarakat 4. Adat Busana 5. Permainan
rakyat
1. ADAT PERKAWINAN TIDORE
Pelaksanaan perkawinan ditata melewati
mekanisme formal layaknya mekanisme umum seperti lamaran hingga
pelaksanaan akad, pada adat tidore mekanismenya sebagai beriku :
1.1 SOGOSA SUBA SE SALAM (salam pelamaran) 1.2 SARI ORAS MALAHA (Penentuan waktu baik) 1.3 MUSUSU LAHI (Masuk minta / Meminang) 1.4 KOTA BALANJA (Antar balanja / antar pra mas kawin) 1.5 SARIWANGE MALAHA 1.6 MALAM RORIO (Malam kunjungan) 1.7 PAKA DEN (Naik ranjang) 1.8 HOGO JAKO (Memandikan pengantin) 1.9 SOKAI (Akad Nikah) 1.10 GOLU (Masuk kamar pengantin) 1.11 ORO BARAKAT (Minta berkat) 1.12 SILOLOA (Minta kesediaan) 1.13 MUNARA FOU SARO (Makanan hidangan pernikahan) 1.14 DOWARO (Mendengarkan ceramah pernikahan) 1.15 KORO DUN (Mengundang menantu perempun) 1.16 TOLA GUBA (Pembersihan hiasan pengantin). dan ;
1.17 TAGI SUBA (Kunjungan ke keluarga)
1.1 Sari Oras Malaha (mencari dan menentukan waktu baik)
Kegiatan ini berlangsung sesaat setelah
keluarga calon mempelai wanita menerima belanja yang diantarkan oleh
keluarga calon mempelai laki-laki. Penentuan bulan, hari dan jam
didasarkan pada “saat dan kutika” menurut perhitungan Syaidina Imamul
Djafar Sadek.
1.2 Malam Rorio (Malam kunjungan dan gotong royong).
Kegiatan ini berlangsung semalam sebelum
akad nikah dilaksanakan sekitar pukul 19.00 – 23.00. Biasanya wanita
/ibu-ibu dari kedua belah pihak keluarga datang membawa hantaran ”antar
rorio” untuk persiapan kerja esoknya. Tradisi “rorio” bermakna saling
menolong. Mereka yang datang pada malam tersebut ke rumah calon
pengantin wanita membawa “rorio” dalam bentuk sadaqah beramplop dan
balasannya adalah satu dos/bungkus kue ‘rorio’. Malam ini juga biasanya digunakan oleh muda /mudi untuk datang melihat ranjang pengantin yang telah dihiasi (honyoli tua se guba).
1.3 MUSUSU LAHI (Masuk minta / Meminang)
Adalah proses lamaran dari kaum pria yang
ditemani oleh pihak keluarga atau wali keluarga. Dalam prosesi ini kaum
pria yang diwakili oleh wali/orantua menyatakan ungkapannya akan
keinginan mempersunting si perempuan.
1.3 PAKA DEN (Naik ranjang)
Paka den atau naik tempat tidur
(pingitan) biasanya tiga hari jelang akad nikah, calon pengantin wanita
maupun pengantin pria mengenakan pakaian adat dan sekujur tubuhnya
dilulurkan bedak tradisional (pupu lade) yang sebelumnya dibacakan
doa-doa. Acara ini memaknai membersihkan diri memasuki alam rumah
tangga. Bagi perempuan ini tradisi ini disebut Wadaka (Dengan menggunakan bedak/semacam rempah kosmetik hingga pada hari kedua mempelai bertemu di hari puncak)
1.4 HOGO JAKO (Mandi membersihkan).
Prosesi ini berlangsung di kediaman
mempelai wanita. Utusan calon pengantin wanita dengan menggunakan baju
adat menjemput calon pengantin pria. Calon pengantin wanita duduk diatas
pangkuan seorang wanita muda dan calon pengantin pria dipangku seorang
lelaki muda. Mereka dililitkan dengan kain putih dan kepalanya juga
ditutupi kain putih. Didepan pengantin berdiri para wanita paru baya
(yaya goa) dengan busana adat (dao) selaku pelaksana prosesi memandikan
dan mengusapkan (hogo jako) kedua calon pengantin. Perlengkapan hogo
jako terdiri dari bambu (dibu) berisi air yang dililitkan dengan kain
putih, telur, buah pisang raja mentah, pinang, mayang pinang yang
didalamnya berisi sumbu (jumlahnya ganjil), sirih, kapur, pelita, uang
koin, daun beringin putih, daun pohon jawa, dan daun goliho. Makna acara
ini adalah upaya menolak segala bencana atau marabahaya menjelang
pernikahan maupun sesudahnya. Hogo jako juga dipergunakan pada acara
Khitanan.
1.5 GOLU (sarang laba-laba / masuk kamar pengantin).
Menandakan jalan tersebut belum dilalui
oleh siapapun (sang wanita belum dinikahi oleh orang lain sebelumnya).
Akad nikah dilaksanakan menurut syariat Islam, yaitu diawali dengan
khotbah nikah, Idzab Kabul, ucapan sighat taklik dan diakhiri dengan
pambacaan doa. Sesudah Idzab Kabul, pengantin pria masuk ke kamar
pengantin wanita (bathal wudhu). Biasanya kamar pengantin wanita dikunci
rapat oleh kerabat pengantin wanita. Pintu dibuka setelah pendamping
pengantin laki-laki melempari koin golu berulang-ulang ke dalam kamar pengantin wanita.
1.6 ORO BARAKATI SE SILOLOA (Ambil berkat dan bersuara).
Oro barakati sama halnya dengan mengambil
/ meminta berkat dari kedua mempelai kepada orang tua atau wali dan
kerabat dekatnya. Seusai oro barakat dilanjutkan dengan siloloa dari
seseorang yang mewakili pihak kedua keluarga pengantin menyampaikan siloloa atau
sekedar prakata kepada yang hadir (menyampaikan sedikit perihal kedua
mempelai, mohon maaf atas kekurangan dalam pelayanan dan seterusnya,
juga ucapan terima kasih atas segala partisipasi). Siloloa juga
dilakukan pada acara-acara lain seperti jelang keberangkatan Jenazah
dari rumah duka.
1.7 MUNARA FOU SARO atau Makanan hidangan ;
Seperangkat makanan adat khas Tidore,
dihidangkan di atas meja yang diatur dan ditata sedemikian rupa, dan
disantap oleh orang-orang yang mengenakan pakaian adat pula. Makanan
adat sebelum disantap, dimasukan (disarokan) ke dalam kain putih (di
atas taplak meja berwarna putih dan ditutupi kain berwarna putih).
Masyarakat Tidore mengenal 3 (tiga) tingkatan pada ngam saro.
- Ngam romtoha (5 jenis makanan), dihidangkan di
ruang khusus (kamar pengantin atau kamar khitanan), dicipi oleh kerabat
dekat atau teman dekat. Acara makan tidak diawali dengan dowaro.
- Ngam capu – capu (5 – 9 jenis makanan) dihidangkan di ruang tamu, dapat dicicipi oleh sekalian undangan dan diawali dengan dowaro.
- Ngam tarunta (44 jenis makanan) dihidangkan di
ruangan/lokasi yang memiliki kapasitas banyak orang. Santapan diawali
dengan dowaro dan pembacaan doa selamatan. Jamuan makan ini diberlakukan
pula pada acara makan khusus, seperti pelantikan Sultan, pejabat
kerajaan, tamu-tamu agung dan, upacara-upacara adat. Namun demikian Fou
Saro bukanlah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh tuan rumah
pelaksana acara, pelaksanaan terserah pada kemampuan finansial
penghajat.
1.8 DOWARO
Yaitu suatu ungkapan dari seorang
pawang/joguru yang menceriterakan dengan kata-kata bermakna tentang arti
secara simbolis, setiap jenis makanan adat yang disuguhkan dalam acara
tersebut. Juga ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT, juga kepada
seluruh yang telah berpartisipasi. Dowaro ini juga diucapkan oleh
pawang/joguru pada acara dina kematian (biasanya pada dina besar hari
ke–7 atau ke-9), dan dapat pula diucapkan pada hajatan lainnya seperti
peresmian lembaga-lembaga adat dan lembaga-lembaga pemerintah/kerajaan.
1.9 KORO DUN (Mengundang menantu)
Menantu perempuan diundang ke kediaman
orang tua laki-laki. Biasanya dilakukan dengan makan saro (makan
bersama) atau acara doa selamatan.
1.10 TOLA GUBA (Pembersihan hiasan)
Tola guba yaitu acara pembersihan
hiasan/dekorasi di kamar pengantin. Dilakukan setelah 3 hari atau
hari-hari ganjil sesudah akad nikah dan kadang-kadang disertai pesta
muda-mudi.
1.11 TAGI SUBA (Kunjungan ke keluarga)
Kunjungan silaturahmi perdana sepasang
suami istri yang baru menikah ke kediaman sanak keluarga. Didampingi
oleh pasangan suami istri lainnya sebagai penunjuk keluarga, agar
pasangan baru mengetahui sanak keluarganya. Biasanya kunjungan tersebut
disertai dengan membawa makanan adat (tamo).
makana khas
Makanan Khas Makanan khas kota ini yang tidak terdapat di daerah lain di Maluku
Utara adalah lapis tidore, kue bilolo dan juga mam raha serta popeda.
Ada juga tela gule dan uge ake.
1.1Makanan khas popeda